Labirin Laba-Laba -2
DUA
Dodi menggosok-gosok pantatnya yang sakit
akibat terjatuh tadi. Demikian pula Nina. Mereka tampak meringis menahan sakit.
Lalu perasaan cemas mulai menghinggapi otak mereka setelah mereka benar-benar sadar
apa yang telah terjadi.
“Ya ampun, Dod. Apa kita benar-benar
menciut?” Tanya Nina menelan ludah kuatirnya sambil melihat dinding kayu yang
mengelilingi mereka.
“N yang terparah adalah kita menciut
tepat di dalam lorong labirin si tua Terpin yang engga berguna ini.” Gerutu
Dodi kesal.
“Kalo ajah gua engga menyandar di pilar
itu…”
“Eh, udalah. Ngapain disesalin. Engga
membuat kita kembali membesar ‘kan?” ujar Dodi menghibur Nina yang tampak
merasa sangat bersalah.
“Yah…walo gimanapun, gua tetep ajah
ngerasa bersalah. Maaf ya Dod…”
Dodi tersenyum. Tangannya terulur
mengacak-acak rambut Nina, “Iya gw maafin. Jangan nangis ya?”
“Weh, sapa yang mo nangis?” Nina langsung bangkit sambil meraba-raba
tubuhnya mencari-cari kalo-kalo ada tulangnya yang patah akibat jatuh
terjerembab tadi, “Kalo aja lu engga ngumpulin pilar kuno peninggalan zaman
Yunani itu, gue engga bakalan menjatuhkannya, ‘kan?”
“Hah??” Dodi meringis, lalu
menggaruk-garuk kepalanya yang engga gatal, “Ternyata benar gosip yang sering
gw denger di kantin kalo logika cewe’ itu emang kebalik!” ujarnya mengikuti
ulah Nina.
Nina meraba-raba dinding labirin yang
terbuat dari kayu yang keras dan halus, dengan tinggi sekitar tiga meter
tersebut dengan putus asa.
“Lu bener, Dod. Masalah kita yang
terbesar adalah kita terjebak di lorong gila tanpa jalan keluar ini.” Ujar Nina
lirih.
“N kita hanya seukuran kelereng!” tambah
Dodi membuat perasaan semakin mencekam.
“Dod, labirin ini, ‘kan ciptaan tenaga
ahli lu.”
“Truzz?”
“Yeah, stidaknya lu pasti tau dong cara
kerjanya.”
“Ini labirin, Nona. Bukan mesin. Gw rasa
engga ada cara kerja apapun disini.”
“Kalo begitu, cari jalan keluarnya, Dod.
Cepetan sebelum kita jadi gila.”
“Sabar,non. Pasti kita akan ngedapatin
jalan keluar dari tempat ini.”
“Ohh…semoga ajah kita ketemu dengan
laba-laba.” mohon Nina lemah.
Dodi menelan ludah, “Laba-laba pasti
ukurannya lebih gede dari kita, Nin. Lu udah gila mau ketemuan?”
“Lu ingat,’kan…menurut pak Terpin,
Laba-laba punya orientasi ruang yang canggih. Artinya mereka pasti pintar.
Brarti mereka tau jalan keluar dari tempat ini.”
Dodi tertawa, “Lu mao tanya-tanya alamat
sama laba-laba? Percaya amat lu ama si tua Terpin itu.”
“Dia tenaga ahli senior di laboratorium
lu, ‘kan?”
“Thanks udah ngingatin gw hal itu berulang-ulang
kale.”
Nina mendesah, “Lebih baik kita berpisah
jalan, Dod. Salah satu dari kita arus ngedapatin jalan keluar dari tempat ini
agar bisa nyalain mesin miniatur itu kembali. Gua engga mau menciut selamanya.”
“Emang sebaiknya begitu. Lagi pula engga
perlu dua otak untuk ngeberesin masalah besar ini. Karena salah satu otak udah
ampir meledak karena ketakutan!” ujar Dodi mulai melangkah lagi dengan
gagahnya.
“Hmm…maksud lu otak siapa?” tanya Nina
manyun. Mukanya tampak memerah seperti tomat
Dodi tersenyum simpul, “Ayo mulai! Gw
yakin, engga ada resep rahasia untuk keluar dari labirin ini.
“Semoga ajah”
Setelah satu jam…
“Ya ampun. Kayanya kita tadi abis dari
sini deh. Gua kenal tempat ini.” Keluh Nina menyapu peluh yang menetes di
keningnya dengan punggung tangannya.
“Semua dinding keliatan sama, Nin. Ayo,
kearah mana sekarang? Kiri ato kanan?” tanya Dodi mencoba sabar.
Tapi tampaknya mereka hanya
berputar-putar di tempat yang sama, atau tempat yang tampak sama, berupa
ruangan berdinding dengan pintu keluar menuju ruangan berdinding lainnya.
Berkelok-kelok seperti lorong atau gang yang engga ada habis-habisnya.
“Harus ku akui, aku sedikit bingung sudah
berada dimana…”
“Apa lu bilang Nin?” tanya Dodi terkejut.
“Gua engga bilang apapun.” Jawab Nina
cepat.
Dodi menangkap tangan Nina, “Stt….coba
denger. Ada suara…”
“Itu suara perut gua yang mulai
dangdutan, tau!”
Dodi menggeleng. Sikapnya tampak serius,
“Dengerin deh…” katanya. Nina jadi ikutan memasang telinga lebih seksama.
“Hanya dinding dan dinding ada
dimana-mana.” terdengar suara aneh dari balik dinding.
“Denger, ‘kan?” bisik Dodi menelan ludah,
“Brarti kita…kita engga sendirian.”
Nina menyeringai, “Brarti kita selamat!”
“Selamat apaan? Lu pikir yang menciut
satu sekolahan? Itu pasti bukan manusia. Mungkin alien.”
“Alien?”
“Ato hewan…”
Sekarang Nina malah tertawa, “Maksud lu,
sejak kita menciut, mendadak hewan bisa bicara?”
“Semua hewan bisa bicara, ‘kan?”
“N hewan peliharaan lu itu bisa bicara
bahasa manusia?” tanya Nina gembira. “Ini pasti sebuah keajaiban. Ayo, mungkin
mereka bisa menolong kita keluar dari
kerajaan dinding ini. Cepetan, Dod. Suaranya berasal dari sebelah sini.”
“Nin, tunggu! Gw engga begitu yakin soal
ini…”
Tapi Nina engga perduli. Dia berlari
kebalik dinding sebelah kanan dengan harapan bisa selamat dari jebakan labirin
yang udah memusingkan kepalanya.
Lalu tiba-tiba…dari balik dinding….
Betapa kagetnya Dodi n Nina begitu
melihat apa yang menyambut mereka dari balik dinding tersebut.
“Uuuaaahhhhhhhhhhh……la…laba-labaaaaaaa…”
teriak Nina jatuh tersungkur ke lantai sakin takutnya.
“Dan…dan sebesar kudaaa….” Teriak Dodi
ikut jatuh tersungkur disebelah Nina.
Dua ekor laba-laba sebesar kuda, berbulu
tebal, berkaki delapan, dengan dua bola mata besar berwarna hitam n enam bola
mata kecil-kecil dibagian atasnya, dan mulut yang dilengkapi taring sebesar
golok, tampak saling memandang.
“Pak…pak…Terpin pas…pasti lupa telah
meninggalkan serangga percobaanya disini…” ucap Nina gemetar ketakutan. Dia
pernah melihat laba-laba sebesar kecoak, sedang merayap di dinding kamarnya. N
itu benar-benar saat yang menakutkan. Lha ini, bener-bener sebesar kuda. Dan
dua ekor pula…Sungguh menyeramkan…
“Ingatkan gw untuk memecatnya kalo kita
selamat. Sekarang…ayo kita lariiii!!!!!!!!” teriak Dodi menangkap
tangan Nina n menariknya untuk
mengeluarkan jurus langkah seribu.
Namun mendadak sebuah tali besar
melingkar melayang-layang di atas kepala mereka seperti lasso para koboy yang
hendak menangkap bison liar.
“Ya ampun..!” teriak Nina. Sedetik
kemudian tali tersebut sudah menjerat tubuh mereka rapat-rapat hingga engga
bisa bergerak.
“Celaka, Nin. Kayanya kita engga akan
selamat!” ujar Dodi dengan suara bergetar. Keringat sebesar jagung
menetes-netes dari jidatnya.
“Lu bener,Dod. Ternyata ketemuan dengan
laba-laba bukan ide yang keren. Kita pasti berakhir sebagai makan malam mereka!
Mungkin sekaranglah saatnya gua mengatakan
kalo gua senang berkenalan dengan lu, Dod! Walo elu sebenarnya cowo’ aneh n
setengah gila!”
Dodi menelan ludah, “Gw juga senang
berkenalan dengan lu, Nin. Walo lu cewe’ yang ceriwis buanget. Oh…astaga! Siapa
yang kelak akan mewarisi semua hartaku…”
“Hei..hei..!! Cukup bergosipnya. Ada yang
mesti kuluruskan disini. Kami bukan serangga. Kami laba-laba! Tubuh serangga
terdiri atas tiga bagian dan punya enam
kaki. Laba-laba punya dua bagian tubuh dan delapan kaki.” Terdengar seekor
laba-laba berbicara dengan jelas dan lancar sekali, “Mengapa tidak ada yang
ingat semua itu?”
Dodi n Nina tercengang hebat menyaksikan
seekor laba-laba bener-bener bisa bicara bahasa manusia. Bahkan dengan kosa
kata yang baik n sopan. Sampe-sampe mereka engga sadar kalo mulut mereka
menganga lebar seperti jendela.
#Bersambung
#OneDayOnePost
#DayNine
#BayarHutang
Comments