CONAN, Act 2: The Past

Conan terbaring lemah di atas lantai sebuah penjara yang dingin. Pakaiannya yang terdiri dari kaos, celana, dan jubah coklat usang melekat di tubuhnya. Dan ditemani sepasang pistol semi otomatis yang telah dimodifikasi berwarna hitam yang diletakkan begitu saja di atas lantai di hadapannya. Dia menatap sayu kedua senjatanya itu. Senjata yang selalu digunakan bila dipanggil oleh orang-orang berbaju hitam yang tidak dikenalnya sama sekali, untuk bertarung nanti. Sebuah pertarungan aduan hidup dan mati.


Beberapa jam yang lalu, dia baru saja menyelesaikan sebuah pertarungan gila menghadapi seorang bertubuh besar dan kekar. Itu memang pertarungan yang tidak adil karena dirinya hanya seorang anak yang baru menginjak masa remaja. Dia baru memasuki usia ke-13 sebulan yang lalu. Ultahnya dirayakan dengan pertarungan tentunya.

Biarpun pertarungan itu sudah lama berlalu dengan kemenangan yang didapatkannya, tubuhnya masih merasa lemah. Mungkin efek dari obat doping yang disuntikkan sebelum pertarungan dimulai. Obat itu membuat tubuhnya terasa panas dan juga terasa menambah kekuatannya. Tapi, setelah semua itu berakhir, hanya rasa lelah luar biasa yang tersisa dan luka-luka akibat pertarungan.

Bayang-bayang pertarungan itu juga masih terus terbesit di benaknya membuatnya merasa muak. Apalagi suara sorak-sorai orang-orang yang menyaksikan pertarungannya.­ Dia semakin merasa muak.

Sejak usia 6 tahun, dia sudah masuk ke dunia pertarungan ilegal tak adil ini. Entah karena apa, dia sudah lupa. Yang jelas orang-orang berbaju hitam yang secara pribadi dia sebut sebagai Organisasi Hitam itu, telah membawanya ke dunia mereka. Sejak saat itu, dia diberi berbagai macam obat aneh dan juga latihan serta ikut dalam pertarungan yang bisa sangat mengancam nyawanya biarpun semenjak itu pula dia belum pernah kalah sekali pun. Dia sudah mulai merasa tidak tahan sekarang. Dia ingin berhenti dan keluar dari 'neraka' pertarungan ini. Tapi, bagaimana caranya?

Pintu jeruji terbuka kembali. Seorang pria berbaju hitam yang memiliki rambut perak yang panjang, melangkah masuk menghampiri Conan yang masih terbaring. Conan masih tidak sanggup untuk bergerak sehingga dia cuma melihat saja.

Pria itu berjongkok di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk. Dia mengeluarkan sebuah suntikan yang berisi cairan aneh di dalamnya dari sakunya. Conan sudah tahu kalau itu adalah obat doping lainnya. Rasa-rasanya dirinya ini bukan cuma sebagai 'hewan' aduan, tapi juga kelinci percobaan. Setelah disuntik obat itu, dia pasti akan langsung dibawa ke arena pertarungan untuk bertarung lagi dengan orang yang tak sebanding dengannya. Tapi, dia sudah tidak tahan.

Aku mau keluar!

Entah tenaga dari mana, dia memukul tangan pria berbaju hitam itu yang sedang memegang alat suntik. Alat suntik itu terlempar dan saat terbanting di lantai, tabungnya pecah. Obatnya tercecer semua.

"Kau!"

Tanpa membuang kesempatan Conan menubruk tubuh pria itu sampai membuat pria itu terhempas. Dia menyambar kedua pistolnya dan berlari keluar dari penjara.

"C-1 kabur! Tutup semua pintu keluar dan tangkap dia! Jangan sampai dia berhasil kabur!" seru pria berambut perak itu.

Conan tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah keluar dari tempat mengerikan ini. Orang-orang Organisasi Hitam mulai bermunculan, hendak menangkapnya. Tanpa ada keraguan, dia menembak orang-orang itu. Dia tidak tahu apakah mereka yang ditembaknya itu tewas atau tidak karena saat ini dia tidak memfokuskan arah tembakannya. Dia berprinsip "yang penting kena saja dulu" untuk saat ini walaupun sebenarnya dia bukan orang yang suka membunuh biarpun selama dirinya berada di dunia pertarungan ilegal ini dia selalu membunuh lawannya. Itu pun karena terpaksa sebenarnya. Dia 'kan didesak terus oleh lawannya yang membuatnya mau tak mau harus membunuh lawannya itu.

Alarm berbunyi di mana-mana. Dia terus berlari sambil menembaki orang-orang yang bermaksud menghalanginya.­ Tak lama dia pun menemukan pintu keluar. Pintu keluar itu berada di depan mata sekarang. Selangkah lagi, dia akan keluar dari penjara sekaligus neraka ini. Pintu itu mulai tertutup. Conan mempercepat larinya.

Namun, ketika dia hampir mencapai pintu, dari persimpangan jalan yang ada di dekat pintu itu muncul pria berambut perak tadi. Dia menyambar leher Conan dan menabrakkannya ke dinding. Tidak ada rasa segan-segan. Benturannya sampai membengkokkan dinding yang terbuat dari logam tebal itu.

Dari mulut Conan mengeluarkan darah. Tabrakan itu bisa saja membunuhnya bila dirinya masihlah seorang anak biasa. Tapi, karena dia sudah sering mengalaminya selama bertahun-tahun,­ dia hanya mendapatkan luka dalam yang baginya masihlah tergolong ringan. Dia sudah pernah mendapat yang lebih parah dari itu.

"Mencoba kabur, heh?" tanya pria itu sarkastik.

Conan tidak menjawab. Dia menatap kesal pria itu karena telah berhasil menangkapnya. Tapi, niatnya untuk kabur tidak berkurang sedikit pun. Dia berpikir keras bagaimana caranya meloloskan diri dari pria itu.

Pintu keluar semakin merapatkan celahnya. Conan yang tidak mau terus terjebak di dunia gelap ini, segera bertindak. Dia mencengkeram tangan pria berambut perak itu yang tengah mencekiknya. Cengkeramannya begitu kuat, padahal dia itu sebenarnya sedang dalam kondisi tidak bagus. Tenaga itu muncul begitu saja. Mungkin karena niatnya untuk keluar yang begitu besar, membuatnya mendapatkan kekuatan itu.

Cekikannya melonggar. Dan dengan sekali hempasan, Conan membanting pria itu ke dinding di sebelahnya. Pria itu langsung jatuh terbaring. Setelah itu, Conan kembali berlari menuju pintu keluar. Dia berhasil keluar sesaat sebelum pintunya menutup rapat.

Cuaca di luar sedang hujan. Langitnya begitu gelap karena tertutup oleh awan hitam tebal. Hujan yang sedang turun itu menjadi saksi atas pelarian Conan. Bocah itu terus berlari sampai tenaganya habis. Dia tidak tahu sudah berapa jauh dia berlari.

Di depan sebuah rumah, dia berhenti berlari karena tenaganya sudah habis. Dia pun jatuh pingsan di depan pagar rumah tersebut. Begitu sadar, dia sudah berada di dalam rumah Profesor Agasa.

~Black Virus~

Conan membuka matanya, menatap keluar jendela kamarnya yang telah rusak itu di mana sekarang sedang turun hujan. Cuaca yang sama di saat dirinya berhasil kabur dari Organisasi Hitam dulu. Organisasi yang tidak diketahu nama aslinya itu. Hujan selalu membuatnya teringat dengan kejadian itu.

Sekarang dia sudah terbebas dari cengkeraman mereka. Tapi, bukan berarti dia tidak sedang diburu oleh organisasi itu. Setidaknya dengan mengenakan kacamata seperti sekarang, orang-orang itu akan sedikit kesulitan mencarinya. Namun, sampai sekarang Conan tidak melaporkannya pada polisi karena belum punya bukti mengenai keberadaan mereka. Bisa-bisa dia dianggap kebanyakan nonton film lagi seperti tadi.

Ditambah lagi monster-monster­ yang berkeliaran tadi, yang beberapa telah berhasil dia bunuh, masih ada. Entah berapa jumlah mereka sebenarnya. Tapi, yang jelas jumlah mereka pasti akan terus bertambah mengingat virus di dalam tubuh mereka dapat menular melalui gigitan.

Kecurigaannya pada terlibatnya Organisasi Hitam atas kejadian ini, membuatnya semakin tidak tenang. Kalau benar mereka dalangnya, dia tidak bisa diam saja. Dia harus memusnahkan mereka kalau begini jadinya biarpun itu akan membuatnya merasa kembali ke masa lalunya yang kelam. Tapi, kalau berhubungan dengan organisasi itu, Conan tidak mempedulikannya­.

Entah obat macam apa yang sebenarnya mereka buat. Kalau dirinya masih ada di tempat mereka, mungkin dirinya bisa menjadi salah satu dari monster-monster­ itu.

Tapi, kecurigaannya itu masih belum terbukti. Dia masih harus menyelidikinya.

Conan mengeluarkan ponselnya. Dia menyetel TV dari ponselnya itu untuk melihat apakah ada berita atau tidak mengenai kejadian tadi.

"Saat ini terjadi serangan oleh orang tidak dikenal yang menimbulkan korban tewas sekitar 5 orang yang 3 di antaranya adalah polisi. Dari laporan pihak kepolisian bahwa pelaku penyerangan tersebut juga telah tewas tak jauh dari lokasi kejadian. Pelaku tewas akibat luka tembakan di kepala dari pistol yang terdapat di pos polisi. Sampai saat ini belum diketahui siapa yang menembak. Ada kemungkinan polisi yang menjadi korban itu yang sempat menembak sebelum akhirnya tewas karena mengalami luka parah. Demikian sekilas berita yang dapat disampaikan saat ini."

Conan mematikan aplikasi TV pada ponselnya itu. Dia menghela nafas. Kelihatannya para polisi tidak menaruh curiga padanya, tapi mereka past akan segera tahu kalau dirinyalah yang telah menembak itu sebab sidik jarinya ada di pistol itu.

Conan kembali menikmati pemandangan hujan yang masih mengguyur di luar. Sebenarnya dia tidak boleh santai-santai sekarang. Dia harus segera mencari tahu mengenai asal para makhluk kanibal yang ditemuinya tadi itu. Tapi, harus dimulai dari mana? Dia tidak punya petunjuk apa-apa.

Suara ledakan membuyarkan lamunan Conan. Terlihat kepulan asap dari kejauhan. Mungkin sekitar beberapa kilometer dari rumahnya.

"Ledakan apa itu?" gumamnya.

Terdengar suara derap langkah dari luar kamarnya. Kemudian Profesor Agasa masuk ke dalam kamar. "Conan, suara apa tadi itu?" tanyanya dengan nada panik sambil berjalan mendekati Conan.

"Sepertinya ada yang mengebom di sana," jawab Conan tanpa menoleh.

Profesor Agasa ikut melihat keluar. "Kelihatannya itu dari daerah perumahan B," ujarnya.

Conan menautkan alisnya. Rasanya tidak mungkin ada teroris di saat seperti ini. Apalagi yang menjadi daerah sasaran hanyalah perumahan lokal biasa. Tidak ada orang kaya atau semacamnya di sana. Hanya ada satu dugaan yang terbesit di kepalanya.

"Jangan-jangan.­.. ada hubungannya dengan makhluk itu lagi...," gumamnya.

Bocah kacamata itu berlari menuju pintu sambil berseru, "Profesor, kita ke sana!"

Profesor Agasa terkejut. "A-apa?"

Sayangnya Conan sudah terlanjur keluar. Profesor Agasa terpaksa mengikutinya saja.

~Black Virus~

Mobil VW kuning milik Profesor Agasa berhenti beberapa meter dari lokasi ledakan. Belum ada pihak pemadam kebakaran yang datang. Mungkin sebentar lagi. Conan dan Profesor Agasa segera turun dari mobil dan mendekati lokasi ledakan.

Yang menjadi lokasi ledakan adalah sebuah rumah penduduk yang tidak terlalu besar. Bagian depan rumah tersebut berlubang beserta dengan pagar temboknya. Asap masih terus mengepul. Tapi, kelihatannya penghuni rumahnya sedang tidak ada.

Seorang gadis berambut kecoklatan yang terlihat sebaya dengan Conan berlari keluar dari dalam kepulan asap yang terus keluar dari lubang bekas ledakan. Gadis itu membawa sebuah SMG di tangannya. Dia terkejut saat melihat Conan dan Profesor Agasa yang ada di depan rumah. Begitu juga dengan Conan dan Profesor Agasa.

"Apa yang kalian lihat? Segera pergi dari sini. Di sini berbahaya!" titah gadis itu.

Conan dan Profesor Agasa kaget.

"Hei, bukannya kau yang sedang dalam bahaya? Kau 'kan berada di lokasi ledakan," protes Conan.

"Kalian itu tahu apa? Cepat pergi dari sini sebelum..."

Sesosok makhluk kanibal muncul dengan cara melompat dari dalam kepulan asap. Dengan cekatan Conan mencabut pistolnya yang terpasang di sabuk belakang tubuhnya dan menembak makhluk itu. Sesaat setelah melepaskan tembakan, gadis berambut kecoklatan itu juga menembak makhluk itu dengan SMG yang dibawanya.

Tembakan Conan mengenai kepala monster itu, sedangkan tembakan si gadis berambut kecoklatan itu mengenai tubuhnya. Makhluk itu langsung rubuh.

"Gerakan yang bagus," puji si gadis berambut kecoklatan.

"Terima kasih," sahut Conan. "Kau juga lumayan."

"Benarkah?"

"Ngomong-ngomon­g... siapa kau sebenarnya? Sampai kau bisa berhadapan dengan makhluk itu."

Gadis itu tidak menjawab. Dia cuma diam saja menatap Conan.

"Apakah kau ada hubungannya dengan Organisasi Hitam?" tanya Conan lagi.

Gadis itu terkejut. "Kau tahu tentang mereka juga? Itu artinya kau pernah terlibat dengan mereka. Hanya yang pernah terlibat dengan merekalah yang tahu tentang mereka."

"Jadi, kau pun pernah berhubungan dengan mereka?"

Gadis itu diam sebentar. "Sebenarnya akulah yang membuat makhluk itu jadi ada."

Conan terbelalak mendengarnya.

To be continued...



Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Anak-Anak Indonesia

Fenomena "Sudah Dibaca Jutaan Kali"

Mengapa Novel Bisa Membosankan?