CONAN, Act 7: The Train


Conan mengambil Sky Board dari bagasi mobil VW Profesor Agasa. Lalu, dia dan Ai menaiki papan seluncur melayang itu pergi dari stadion. Ai yang berdiri di belakang Conan, memeluk erat pinggang Conan karena Sky Board melaju dengan cepat.


Pagi sudah menjelang saat mereka pergi. Sepanjang perjalanan, tak ada lagi orang yang terlihat di kota. Sepi. Tentu semua sudah tampak seperti kota mati yang mengerikan dengan banyak noda merah di mana-mana.

"Kita akan ke mana, Conan?" tanya Ai.

"Kita akan coba ke stasiun kereta," jawab Conan. "Cuma itu kendaraan tercepat dan termudah yang bisa kita temui sekarang ini. Memang tidak akan sampai ke Osaka, tapi bisa mencapai daerah dekat perbatasan. Dari situ, kita cari cara lain untuk mencapai Osaka."

"Kenapa tidak naik pesawat saja? Kurasa masih ada pesawat yang ditinggalkan di bandara."

"Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak tahu cara mengendarainya.­ Aku belum mempelajarinya.­"

"Hmm... Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali menaiki pesawat."

"Maaf, ya. Aku bukan pilot. Kenapa kau tidak ikut penduduk saja semalam? Kau bisa naik pesawat saat itu."

"Bukannya aku sudah mengatakan alasannya?"

"Baiklah..."

Keduanya terdiam untuk beberapa saat sampai Conan kembali membuka pembicaraan.

"Ngomong-ngomon­g, aku baru sadar kalau sekarang kau memanggilku dengan nama 'Conan'. Bukan 'C-1' lagi."

Ai memalingkan wajahnya. "Tidak ada alasan khusus," jawabnya ketus.

"Baiklah, aku tidak memaksa," ujar Conan.

Perjalanan menuju stasiun kereta begitu tenang tanpa ada halangan satu pun walaupun kota sudah mirip kota mati. Hanya suara angin yang terdengar. Para makhluk kanibal juga tidak terlihat di mana pun, tapi Conan masih dapat merasakan keberadaan mereka di beberapa bangunan.

Pelukan Ai terasa begitu erat di pinggang Conan. Entah kapan terakhir kali dia dipeluk erat seperti itu. Dia sudah tidak ingat. Tidak ingat sama sekali...

"Conan~"

Conan tersentak. Kenapa mendadak terlintas sebuah suara di kepalanya?

"Conan jadi adikku, ya?"

Suara itu... terdengar seperti suara seorang anak laki-laki yang masih kecil. Mungkin berusia 10 tahunan. Tapi, itu suara siapa?

"Lihat, lihat, Conan. Kakak sudah bisa melakukan trik yang sulit."

Siapa? Siapa?

"Conan! Awas!" seru Ai tiba-tiba.

Conan langsung tersadar dari lamunannya dan menghindari mobil yang hampir saja dia tabrak. Ai menghela nafas lega, tapi juga merasa kesal pada pemuda yang sudah tidak lagi berkacamata itu.

"Apa yang kau lakukan? Kau mau membunuh kita?" bentak Ai.

"Maaf, aku melamun," ucap Conan dengan nada datar. Sama sekali tidak terdengar menyesal di telinga Ai.

"Kita berhenti dulu saja sebentar daripada kau membuat kita mati konyol karena menabrak," saran Ai.

"Kita sudah hampir sampai. Aku akan lebih berhati-hati."

"Sebaiknya begitu."

Suara-suara aneh itu terus terlintas di kepalanya. Suara yang rasanya sangat dikenalnya. Tapi, siapa?

~Black Virus~

Perlahan laju Sky Board diturunkan. Conan dan Ai sudah tiba di depan gerbang masuk stasiun kereta. Mereka berdua turun dari Sky Board. Lalu, melangkah masuk dengan hati-hati sambil mengawasi sekitar. Stasiun kereta juga tampak sepi dengan sampah yang bertebaran di mana-mana.

"Sama sekali tidak ada orang," ujar Ai. "Seperti tempat lainnya."

Mereka terus berjalan. Kemudian menuruni tangga. Mereka dapat melihat ada kereta yang kelihatannya masih utuh di bawah sana. Di ujung tangga, Conan dapat merasakan ada seseorang yang bersembunyi di balik dinding yang berada tepat di samping tangga. Dia pun menyiapkan pistolnya. Ai tidak berkomentar melihat tindakan Conan itu.

Ketika tinggal beberapa anak tangga lagi, Conan langsung melesat turun sambil membidikkan pistolnya ke balik dinding. Seorang pemuda SMU yang berada di balik dinding itu langsung tidak berkutik. Di tangannya ada sebuah tongkat yang siap diayunkan, tapi tidak jadi. Namun, Conan tahu siapa itu.

"Shinichi?" gumamnya hampir tak terdengar. Dia yakin itu memang Shinichi yang asli karena kalau Shinichi yang palsu lebih terlihat sombong.

"Kau... bocah yang waktu itu?" Shinichi tidak kalah terkejut, apalagi karena melihat Conan yang membawa dua buah pistol yang kini sedang dibidikkan ke arahnya.

Conan segera menurunkan senjatanya itu dan menyimpannya kembali di sabuknya. Shinichi juga menurunkan tongkatnya.

"Ternyata kau ke sini juga. Kau tertinggal?" tanya Shinichi.

Conan tidak menjawab. Memang pemuda detektif itu mau percaya kalau dirinya sengaja tinggal?

"Kakak sendiri?" Conan berbalik tanya. Saat itu Ai baru tiba di anak tangga terakhir.

"Lebih tepatnya, sih, kami terus terhalang sehingga tidak dapat ikut penduduk yang lain. Lalu, karena ke mana-mana sudah terkepung, akhirya kami malah tiba di sini," jelas Shinichi.

"Kami?"

"Oh, Kakak bersama pacar Kakak," jawab Shinichi.

Mendengar kata "pacar", Conan sudah bisa menebak dengan siapa pemuda itu datang. Tak lama kemudian datanglah Ran dari arah toilet. Gadis itu tersenyum ramah pada Conan ketika dia melihatnya.

"Syukurlah kalian juga selamat," ucap Ran. "Lho? Conan, mana kacamatamu?"

"Jatuh," jawab Conan singkat.

"Kalau begitu pakai punya Kakak saja, ya," kata Ran sambil mengaduk-aduk isi tas tangannya. "Lensanya normal, sih. Tapi, daripada kau terlihat lain tanpa kacamatamu itu." Dia kemudian mengeluarkan sebuah kacamata yang mirip dengan punya Conan, lalu dipakaikan pada Conan. "Nah... Kalau begini baru namanya Conan."

Conan hanya bisa diam. Kalau dilihat dari cara Ran memperlakukanny­a barusan, kelihatannya Ran selalu memperhatikanny­a. Selama ini.

"Terima kasih," ucap Conan pelan.

Sebenarnya kacamatanya yang sebelumnya juga berlensa normal. Dia dapatkan saat seseorang menjatuhkannya di depan sel tahanannya yang untungnya berlensa normal. Sejak saat itu dia memakainya hanya untuk memberikan identitas diri yang baru sebagai seorang petarung. Bukan lagi sebagai seorang anak kecil yang diculik.

"Ngomong-ngomon­g, darimana kau mendapat pistol itu?" tanya Shinchi.

"Dari orang yang mirip dengan Kakak," jawab Conan.

"Mirip denganku?" Shinichi tampak bingung. "Aku 'kan tidak punya saudara kembar. Aku anak tunggal di keluarga."

"Aku juga tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi, dia itu antara mau menolong atau tidak," jelas Conan.

"Hei, bisakah kita pergi sekarang?" tanya Ai. "Aku tidak mau berada di tempat ini lebih lama lagi."

Samar-samar Conan dapat mendengar sesuatu yang mendekat. Suara keramaian. Sangat banyak. Matanya terbelalak.

"Semuanya segera naik ke kereta! Cepat!" serunya.

"Ada apa?" tanya Shinichi malah bingung.

"Cepat naik!" bentak Conan.

Mereka semua segera menaiki kereta. Conan langsung menuju ruang kemudi. Diperiksanya semua peralatan dan menemukan kalau kereta dalam status manual. Semua kerja mesinnya dalam keadaan manual.

"Mana, mana, mana, mana tombolnya..." Conan mencari tombol pintu dengan panik.

"Hei, ada apa sebenarnya?" tanya Shinichi.

"Mereka datang!" jawab Conan dengan agak membentak karena panik.

"Mereka?" Shinichi malah semakin bingung.

"Para monster," jelas Ai.

Dari gerbong paling belakang mulai terdengar keributan. Terdengar ada yang memukul-mukul badan kereta sambil teriak-teriak. Mereka kedengarannya sudah sangat frustasi karena belum makan. Makanya tidak dapat berpikir dan bertindak seperti hewan liar yang mengamuk.

"Ini dia!" Conan langsung memencet sebuah tombol yang berwarna merah satu-satunya.

Pintu kereta menutup semua. Namun, suara di gerbong paling belakang masih terdengar. Dan kedengarannya ada yang sedang memukul-mukul pintu perbatasan gerbong. Memukul dengan sangat hebohnya. Ada yang sudah berhasil masuk.

Conan terus mengutak atik semua tombol yang ada. Lalu, dia mendorong salah satu tuas yang pendek. Kereta perlahan mulai bergerak, tapi bukan berarti keadaan sudah aman.

"Ai, perhatikan laju keretanya. Aku akan mengurus yang menumpang di belakang sana," titah Conan sambil mencabut kedua pistolnya dari sabuk dan berjalan menuju gerbong belakang.

Shinichi tiba-tiba mencegatnya. "Hei, kau mau melawan mereka?" tanyanya.

"Tentu saja. Apalagi?" jawab Conan.

"Itu berbahaya," kata Shinichi.

"Heh, kau tahu apa soal bahaya." Conan kembali jalan tanpa mempedulikan panggilan Shinichi maupun Ran.

Ai hanya menuruti saja dan mengawasi laju kereta seperti yang dititahkan.

"Hei, kenapa kau tidak mencegahnya?" tanya Ran pada Ai yang terus saja melihat ke depan.

"Aku tidak punya hak untuk melarangnya," jawab Ai datar tanpa menoleh.

"Tapi..."

"Percayakan saja padanya," sela Ai. "Aku tahu lebih banyak tentang kemampuannya."

Shinichi menatap ke arah Conan pergi. Dia masih dapat melihat bocah SMP itu terus berjalan menuju gerbong paling belakang. "Aku akan menyusulnya," ucapnya.

Namun, ketika hendak melangkah, Ai langsung mecegatnya. "Jangan!"

"Kenapa? Dia bisa tewas."

"Kalau dia tahu bahayanya tidak bisa diatasi, dia tidak akan ke sana. Sebaiknya kita diam di sini dan menunggu. Datang ke sana hanya akan mengganggunya. Aku jamin itu. Aku sudah mengalaminya."

"Tapi, itu gila. Dia hanya anak-anak."

"Pernah dengar tentang kisah daerah pinggir kota sebelah utara?" tanya Ai tiba-tiba.

"Tentang kisah orang hilang di pabrik tak terpakai itu? Itu cuma kisah omong kosong tanpa bukti," ucap Shinichi.

"Tidak, itu kisah nyata," bantah Ai. "Karena aku dan Conan pernah tinggal sana. Lebih tepatnya disekap."

Shinichi dan Ran terdiam.

"Silahkan mau percaya atau tidak. Tapi, aku tidak akan berbohong mengenai masa kecil kami yang direnggut."

Mereka berdua masih terdiam.

Ai melanjutkan. "Di sana, orang-orang yang datang, diculik. Ada yang dibunuh dan ada yang dijadikan petarung yang disaksikan oleh orang-orang kaya tamak yang menginginkan obat yang membuat tubuh menjadi sangat kuat dan juga kebal. Salah satu petarung itu adalah Conan. Dia sudah menjadi petarung sejak usia 6 tahun. Aku melihatnya saat dia dibawa pertama kali. Sedangkan aku dilatih untuk menjadi ilmuan yang membuat obat itu."

Shinichi dan Ran mendengarkan dengan serius. Sementara itu Conan baru tiba di gerbong sebelum gerbong terakhir tempat para makhluk kanibal sedang gila-gilanya di sana. Conan menutup pintu tersebut dan menguncinya. Dia pun semakin bersiap untuk bertempur.

"Kemudian waktuku sebagai pembuat obat akhirnya tiba," sambung Ai. "Lalu, aku pun membuat obat yang membuat orang-orang menjadi lebih lama bertahan dalam bertarung. Tempat itu kemudian menjadi kacau karena para petarung berubah menjadi monster kanibal yang menyerang orang-orang yang ada di markas dan aku berhasil kabur. Lalu, para monster itu berkeliaran dan mulai menebar teror."

"Lalu, kenapa Conan tidak berubah?" tanya Shinichi.

"Karena dia berhasil kabur sebelum obat itu diberikan. Dia beruntung. Jadinya, hanya tinggal aku dan Conan yang menjadi saksi dari tempat itu. Dan aku bisa dibilang merupakan dalang dari semua ini."

Shinichi dan Ran saling menatap sejenak.

"Aku akan menebusnya dengan membuat obat penawarnya," lanjut Ai. "Tapi, aku yakin sebenarnya itu tidaklah cukup. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kuperbuat untuk menebus semua kesalahanku itu. Baru ini yang kutahu."

Ai menengok ke belakang. "Sekali lagi kukatakan, kalian boleh percaya atau tidak."

"Kami percaya," kata Ran. "Kami percaya."

Ai tersenyum tipis sambil kembali menghadap ke depan kereta. "Baguslah kalau begitu."

~Black Virus~

Pintu perbatasan gerbong belakang jebol setelah didobrak cukup lama oleh para makhluk kanibal. Mereka melihat Conan yang sudah berdiri menanti mereka tak jauh dari pintu. Conan membidikkan pistolnya, lalu dia menembak makhluk kanibal yang paling depan tepat di kepala yang membuat makhluk itu langsung rubuh. Dan dimulailah serangan menggila para makhluk kanibal yang lain.

Mereka semua berlari ke arah Conan sambil berteriak-teria­k. Conan pun menembaki mereka satu per satu. Salah satu makhluk kanibal yang berhasil maju mendekat, mecoba menerkam Conan, tapi bocah kacamata itu berhasil mundur menghindar dan menembakinya.

Ternyata bukan cuma dari arah pintu, ternyata ada makhluk kanibal yang masuk dari jendela. Kaca jendela didobrak hingga pecah. Conan sempat berpikir kalau makhluk itu berani nekat juga. Mereka melompat menyerang ke arah Conan. Tapi, dengan gesit Conan menghindari semua serangan mereka dan langsung membalas dengan tembakan yang membuat para makhluk itu langsung terbaring tak bergerak.

Ada yang mencoba menyerang dari belakang. Conan langsung melompat menangkap tali-tali pegangan untuk menghindarinya,­ lalu kembali turun dan menembak lagi.

Suara tembakan terdengar sampai ke ruang kemudi. Terdengar dengan sangat jelas.

"Dia benar-benar melawan mereka," gumam Shinichi tercengang.

"Kalau didengar dari banyaknya tembakan, sepertinya yang berhasil masuk cukup banyak juga," kata Ai.

Tiba-tiba salah satu makhluk kanibal mendobrak kaca depan ruang kemudi. Untunglah reflek Ai masih bagus sehingga dia langsung melompat mundur menghindari terkaman. Makhluk gundul itu mendesis seperti kucing pada Ai, Shinichi, dan Ran.

Ran menjerit keras. Jeritannya terdengar oleh Conan yang masih tengah bertempur. Hal itu membuat Conan berniat untuk segera menyelesaikan pertempurannya secepatnya.

Ai mengeluarkan pistolnya dan menembak, tapi semua tembakannya berhasil dihindari. Sekarang makhluk itu kembali melompat hendak menerkamnya. Sebelum sempat menyentuh Ai, sebuah tabung pemadam melayang ke arah makhluk itu yang membuatnya terbaring. Saat itu juga, Ai langsung menembak tepat di kepala makhluk itu.

"Hampir saja," gumam Ai lega.

Shinichi dan Ran pun menghela nafas lega.

Ai berbalik dan berteriak, "Kami baik-baik saja!"

Conan dapat mendengar suaranya walaupun terdengar kecil. Dia merasa lega mendengarnya. Kemudian kembali bertempur dan menghabisi sisa makhluk kanibal yang tersisa dalam waktu singkat. Pertempuran akhirnya usai. Pakaiannya benar-benar kotor semua oleh bercak darah para makhluk menjijikan itu.

"Pakaian ini perlu diganti," gumamnya sambil menyimpan kembali kedua pistolnya.

Conan menatap sebentar para makhluk gundul itu, memastikan tidak ada lagi yang bergerak saat dia pergi. Setelah memastikan semuanya mati, Conan pun melangkah pergi. Tapi, baru juga mau memencet tombol kunci, tiba-tiba muncul semacam sulur-sulur dalam jumlah banyak dari arah jendela, lebih tepatnya dari arah atap gerbong. Sulur-sulur itu melilit dan menarik ke tengah gerbong tubuh Conan dengan sangat cepat sehingga dalam sekejap tubuh Conan sudah terbungkus dan tergantung oleh sulur-sulur yang terasa seperti gumpalan daging. Dia dililit dengan sangat kuat sampai tubuhnya terasa mau remuk.

Makhluk apa lagi ini?

Karena lilitan yang kuat, serta ada lilitan juga di lehernya, Conan merasa tercekik dan tidak bisa bergerak biarpun cuma untuk meraih pistolnya. Suaranya pun tidak dapat keluar untuk memanggil teman-temannya yang berada di gerbong paling depan.

Secara tidak sengaja Conan melihat dari pantulan kaca pintu kalau ada orang di belakangnya yang sedang membidikkan pistolnya. Orang yang memiliki wajah sama seperti Shinichi. Conan hampir mengira itu benar Shinichi kalau saja dia baru ingat pemuda itu masih ada di gerbong paling depan bersama para gadis. Selain itu model rambutnya juga agak berbeda dengan Shinichi. Kelihatan lebih acak-acakan. Jangan-jangan..­. Shinichi palsu?

Orang itu menembak mengenai salah satu sulur yang milit Conan. Tak lama kemudian sulur-sulur itu melemaskan lilitannya dan Conan terjatuh sambil terbatuk setelah tercekik tadi. Pemuda yang masih praduga sebagai Shinichi palsu, berlari maju dan menyambar tubuh Conan. Kemudian menembak tombol pintu. Pintu pun terbuka. Si Shinichi palsu melempar pistolnya dan merogoh sebuah geranat dari saku jaketnya.

Ketika mereka berdua melewati pintu, area perbatasan antara kedua gerbong terjadi ledakan kecil yang membuat gerbong paling belakang itu terpisah. Si Shinichi palsu mencabut kunci pengaman geranat dan melempar geranat tersebut masuk ke gerbong belakang yang sudah terpisah jauh. Dia langsung memeluk erat Conan tepat saat gerbong meledak.

Getaran ledakannya terasa jelas sampai di gerbong paling depan. Ai, Shinichi, dan Ran saling bertatapan karena terkejut dengan suara serta getaran ledakan yang berasal dari belakang. Mereka bertiga pun segera pergi menuju gerbong belakang.

Setelah semua itu berlalu, si Shinichi palsu melepas pelukannya dan melihat ke pintu gerbong yang terbuka. "Tadi itu hampir saja, ya," ucapnya sambil tertawa kecil.

Conan segera mencabut salah satu pistolnya dan menodongkannya tepat di pelipis si Shinichi palsu. "Kau... si Shinichi palsu yang waktu itu, 'kan?" tanyanya penuh selidik.

"Benar," jawab si Shinichi palsu yang dengan mengejutkan bisa berwajah tenang. Padahal Conan bisa saja menembaknya.

"Apa maumu sebenarnya?" desis Conan curiga. "Dan siapa kau sebenarnya?"

Si Shinichi palsu malah terkekeh. "Memangnya salah menolong adikku sendiri? Dan... kau benar-benar sudah tidak ingat pada kakakmu, ya?"

Conan terdiam. Jadi, suara-suara yang terbesit di benaknya itu adalah suara pemuda misterius bin aneh yang ada di hadapannya itu? Tapi, apa benar?

"Astaga... Kakak benar-benar tidak menyangka sekarang kau menjadi kuat seperti sekarang," ucap si Shinichi palsu itu sambil mengacak-acak rambut Conan dengan sangat gemas.

"Hentikan!" bentak Conan sambil menepis tangan si Shinichi palsu. "Aku bahkan tidak tahu namamu. Bagaimana mungkin aku bisa mengenalimu."

"Hmm... Sejak kita pertama bertemu juga... Kakak memperkenalkan diri dengan sebutan 'Kakak'. Tidak pernah sekalipun Kakak memberitahu nama padamu. Lagipula bila dulu kau tahu nama Kakak sekalipun, sekarang kau pasti sudah tidak ingat karena Kakak tahu kalau kau sekarang ini saja sudah tidak ingat seperti apa wajah dan nama orangtuamu."

Conan hanya bisa kembali terdiam. Pistolnya diturunkan. Wajahnya tertunduk. Pemuda itu benar. Dia sudah tidak ingat wajah maupun nama orangtuanya. Tapi, dia tahu kalau mereka pernah ada di kehidupannya dulu sebelum menjadi petarung biarpun dia juga tidak tahu sama sekali kabar kedua orangtuanya itu. Apakah masih hidup atau...

Si Shinichi palsu mengelus kepala Conan pelan. "Kau tidak perlu cemas. Kedua orangtuamu masih ada. Mereka berada di Osaka."

Ada perasaan senang yang langsung terlintas di hatinya. Tapi, tetap saja itu tidak membantu untuk mengingat seperti apa wajah mereka.

"Conan!"

Conan langsung menoleh begitu mendengar suara Ai yang memanggilnya. Dia melihat Ai, Shinichi, dan Ran datang menghampiri. Ketiga remaja itu berhenti ketika melihat ada orang asing di dekat Conan. Mereka juga terkejut karena wajahnya benar-benar mirip dengan Shinichi walaupun model rambutnya berbeda.

"Kau..." Shinichi hendak bertanya, tapi langsung disela oleh si pemuda berwajah mirip dengannya itu.

"Aku Kaito, kakaknya Conan," ucapnya memperkenalkan diri sambil berdiri. "Bukan kakak kandung. Tapi, karena orangtua kami begitu akrab, tentu saja kami jadi merasa seperti bersaudara."

"Aku baru tahu kalau kau memiliki kakak, Conan," ujar Ai. "Kenapa kau tidak beri tahu?"

"Bagaimana aku bisa beri tahu kalau sekarang saja aku ingatnya samar-samar," jawab Conan.

"Hei... Itu jahat, Conan," kata Kaito, kecewa berat.

"Maaf, saja. Ingatan masa kecilku sangatlah samar," ucap Conan seraya berdiri sambil menyimpan kembali pistolnya. Lalu, dia berjalan menghampiri Ai dan lainnya.

Kaito menghela nafas berat. "Setidaknya aku masih bisa melihatmu," ucapnya kembali tersenyum.

To be continued.

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Anak-Anak Indonesia

Fenomena "Sudah Dibaca Jutaan Kali"

Mengapa Novel Bisa Membosankan?