CONAN, Act 5: The Potion

Conan melompat-lompat­ menghidari serangan si monster. Dia sama sekali tidak bisa mendekat. Ditambah lagi, bertarung tanpa pistol benar-benar membuatnya kesulitan. Selama ini dia belum pernah bertarung tanpa pistolnya.

Ai dan Profesor Agasa hanya bisa menonton dari pinggir 'arena'. Para makhluk kanibal lain juga menonton sambil bersorak-sorak.

"Apakah Conan bisa bertahan?" gumam Profesor Agasa cemas. "Lawannya kurasa sangat tidak seimbang."

Ai diam saja. Dia juga merasa demikian. Monster yang dilawan Conan saat ini kemungkinan besar merupakan orang yang tingkat infeksinya paling tinggi. Mungkin karena dirinya telah mengkonsumsi obat-obatan lain lebih banyak dari para petarung lain sehingga membuat virusnya berkembang dengan pesat sampai tubuhnya sudah tidak terlihat lagi seperti manusia.


Conan berlari melesat ke arah si monster, hendak menyerang dengan pukulannya. Tapi, serangannya dengan mudah ditahan dengan satu tangan oleh si monster. Tangannya dicengkeram dan bocah kacamata itu dilempar menghantam tumpukan logam dengan sangat keras. Ai dan Profesor Agasa terbelalak melihatnya.

"Conan!" pekik Profesor Agasa.

Conan kembali bangun dengan nafas yang sudah tidak teratur. Pelipis kanannya mengucurkan darah. Kacamatanya pun terlepas dari wajahnya. Sorakan para makhluk kanibal lain semakin keras terdengar.

"Conan tidak bisa bertahan," ucap Profesor Agasa semakin cemas.

Ai pun merasakan hal yang sama. Dia melihat ke arah pintu yang tak mengaga lebar dan berpenjaga. Dia kemudian melihat para makhluk kanibal yang menonton tidak ada yang memperhatikanny­a ataupun Profesor Agasa. Diambilnya SMG miliknya yang tergeletak di sampingnya.

"Profesor," bisiknya.

Profesor Agasa menoleh.

"Aku akan masuk dan mengambil obat untuk di dalam sana. Dia tidak akan bisa mengalahkan monster itu dengan kondisinya sekarang."

"Tapi, bagaimana kalau dia berubah?"

"Tenang saja. Bukan virus itu yang kuberikan, tapi obat yang lain." Ai menggantung SMG-nya di pundak. "Aku pergi sekarang. Terus awasi saja pertarungan."

"Apa kau akan baik-baik saja di dalam sana?" Profesor Agasa terlihat cemas.

"Ya, aku akan baik-baik saja. Biarpun aku ini seorang ilmuan, tapi aku juga memiliki kemampuan bertarung walaupun tak sehebat C-1."

Ai berjalan mengendap-endap­ menuju pintu sambil terus mengawasi para makhluk kanibal. Jangan sampai ada yang melihat dirinya. Kelihatannya semuanya masih sibuk menonton pertarungan yang sedang berlangsung. Begitu tiba di depan pintu, dia langsung masuk ke dalam markas. Memasuki lorong yang cukup jauh menuju ruang pertama.

Penerangan di dalam markas terlihat redup karena lampu-lampu banyak yang tidak menyala dan yang menyala pun kebanyakan kedap-kedip. Air yang keluar dari pipa yang bocor, menetes dari langit-langit, membuat udara terasa lembab.

Ai terus melangkah dengan hati-hati. Biarpun kelihatannya sepi, dia yakin pasti ada makhluk kanibal yang bersembunyi. Apalagi lorong tersebut memiliki banyak cabang. Setiap belokan bisa dijadikan tempat bersembunyi.

Dinding-dinding­ lorong juga terlihat banyak bercak darah. Entah darah siapa saja yang ada di dinding itu. Baunya begitu menyengat karena sebagian besar masih baru.

Pintu di ujung lorong dimasuki. Di balik pintu itu merupakan ruang penerima tamu yang mau datang menyaksikan pertarungan. Ruangan itu gelap sehingga tidak terlihat apa-apa. Kelihatannya semua lampunya rusak. Ai semakin berhati-hati. Dia melangkah dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara sambil terus mengawasi sekitarnya. Sedikit demi sedikit matanya mulai terbiasa dengan kegelapan sehingga dia mulai dapat melihat. Ruangan itu tampak berantakan. Semua fasilitasnya rusak dan tak berbentuk. Padahal itu fasilitas mahal dan mewah.

Suara benda jatuh mengagetkannya.­ Suaranya begitu keras dan menggema. Jantung Ai sampai berdebar kencang. Dia pun mempercepat langkahnya karena perasaannya sudah sangat tidak enak. Kepanikannya semakin bertambah saat dia mendengar suara langkah kecil hewan yang mendekat. Dia menengok ke belakang dan terlihat dua ekor anjing botak berlari ke arahnya. Sontak Ai pun berlari menuju ke pintu di seberang ruangan.

Para anjing melompat hendak menerkamnya. Reflek A berbalik dan menembakkan SMG miliknya. Para anjing langsung berjatuhan tak bergerak. Nafas Ai tersengal-senga­l karena begitu kagetnya ia. Segera dia melanjutkan perjalanannya sebab suara dari senjatanya itu pasti akan mengundang para makhluk kanibal. Dia bisa terkepung kalau tidak segera mengambil obatnya dan keluar dari markas.

Dia berjalan dengan langkah cepat. Dia bisa merasakan ada yang mendekat. Dia berjalan menelusuri lorong berikutnya yang juga tidak kalah kotor oleh darah yang berceceran. Di ujung lorong tersebut merupakan arena pertarungan. Bentuk arena menyerupai bak raksasa yang dalam dengan beberapa tiang yang berdiri di tengah arena. Di pinggir arena bagian atas terdapat kursi-kursi buat penonton. Kursi-kursinya sudah tidak ada yang utuh. Di bagian tengah arena pun sudah dipenuhi dengan noda darah. Karena para anggota Organisasi Hitam tidak lagi terlihat, kayaknya darah-darah yang ia lihat sejak tadi merupakan darah para anggota Organisasi.

Perjalanan masih terus berlanjut. Ai berhenti sejenak ketika dia melewati sebuah pintu jeruji yang sudah rusak dan hampir terlepas. Pintu itu menuju ruang penjara tempat para petarung dikurung. Aroma busuk dan amis darah yang menyengat dari ruangan itu, membuat Ai tidak mau memeriksa lebih lanjut tempat itu. Di sana kondisinya pasti lebih parah. Penyerangan paling brutal pasti terjadi di sana saat semua petarung yang diberi obat mulai mengamuk dan mengundang banyak anggota Organisasi untuk menangani mereka.

Ai kembali berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan itu merupakan ruangan penelitian tempat dia membuat obat. Laboratorium. Di sana ada banyak peralatan kimia dan cairan-cairan yang digunakan untuk campuran obatnya. Ada juga sebuah komputer tempat dia menyimpan data hasil penelitiannya.

Ai menutup pintu dan menguncinya. Segera dia menghampiri komputer yang dalam kondisi mati. Dia mencoba menyalakannya, tapi tidak bisa. Diperiksanya seluruh bagian komputer dan juga kabel-kabelnya.­ Ternyata kabel listriknya putus. Ai hampir depresi mengetahui hal itu.

Dia berpikir cepat mencari solusinya. Dibongkarnya penutup CPU, lalu dia mencabut harddisk-nya. Dari dalam CPU, secara tidak sengaja dia melihat benda yang bukan bagian dari CPU. Sebuah kotak anti panas yang digunakan Organisasi untuk membungkus obat-obatnya agar suhu obat itu tetap netral. Diambilnya kotak itu dan diperhatikan baik-baik.

Kotak itu kemudian dibuka. Ai terbelalak. Isi kotak itu adalah tabung obat dengan cairan berwarna bening beserta jarum suntiknya. Dia belum pernah melihat obat itu sebelumnya.

"Mungkinkah... obat buatan Kakak?" gumamnya.

Karena masih penasaran, diambilnya setetes obat itu dan diperiksanya menggunakan mikroskop. Ai semakin tercengang. Itu adalah obat tersempurna yang pernah dilihatnya. Hampir tidak ada unsur yang membuat efek samping seperti yang dibuatnya. Kalau benar itu adalah obat buatan kakaknya, itu artinya penyebab kakaknya dibunuh bukan karena ingin berhenti saja, melainkan tidak mau menyerahkan obat itu pada Organisasi.

Pintu digedor dengan keras, membuat Ai kaget sampai termundur. Para makhluk kanibal sudah mengetahui keberadaannya. Dia mengambil SMG-nya yang ia letakkan di samping, menyimpan harddisk dan kotak obat yang ia duga adalah milik almarhumah kakaknya, ke dalam tas yang tergantung di dinding ruangan. Lalu, dia pergi menggunakan pintu lain. Dia berlari secepatnya menuju jalan keluar.

Para makhluk kanibal lain muncul dari laboratorium. Mereka berhasil mendobrak pintu dan segera mengejar Ai yang kabur. Ai mempercepat larinya tanpa melihat ke belakang. Dia berlari terus menelusuri lorong yang telah kotor oleh darah. Tidak peduli bau amis darah yang terus menusuk hidungnya.

Tak jauh di depannya, sudah terlihat pintu keluar. Tapi, mengetahui para makhluk kanibal yang mengejarnya semakin dekat, dia terpaksa berhenti dan menembak mereka. Para makhluk itu pun tersungkur di lantai dengan darah yang mengalir deras. Ternyata bukan cuma dua saja yang mengejar, masih ada lainnya jauh di belakang. Ai segera kembali berlari menuju pintu keluar sebelum mereka tiba.

~Black Virus~

Semua kegiatan terhenti begitu mendengar suara tembakan yang terdengar jelas. Sebelumnya terdengar juga, tapi tidak begitu jelas. Sekarang barulah terdengar jelas.

Conan melihat ke tempat di mana Ai dan Profesor Agasa berada seingatnya, tapi di sana hanya ada Profesor seorang.

"Ai...," gumamnya. Dia yakin suara barusan dibuat oleh gadis itu.

Karena perhatian teralih oleh suara tembakan barusan, Conan tidak menyadari kalau si monster melancarkan pukulan ke arahnya. Dia pun terhempas keras terkena pukulan itu sampai menabrak dinding logam hingga membengkokkan dinding itu. Conan tersungkur ke tanah. Badannya serasa remuk dan jantungnya terasa berhenti sesaat ketika dia membentur dinding logam itu.

Sebuah pintu lain terbuka yang berada tak jauh dari pintu masuk utama. Terlihat Ai yang keluar dengan membawa sebuah tas. Gadis itu segera berlari menghampiri Conan yang masih tidak dapat bergerak tanpa mempedulikan para makhluk kanibal yang menatap marah padanya. Dikeluarkannya sebuah kotak hitam dan dibukanya. Lalu, dia mengeluarkan suntikan dan botol obat berisi cairan bening. Dia mengisi cairan itu ke dalam suntikan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Conan dengan suara yang hampir hilang karena sedang menahan rasa sakit.

"Menolongmu," jawab Ai singkat. Dia langsung menyuntikkan obat yang dibawanya ke lengan Conan tanpa memberi kesempatan Conan untuk bertanya.

Conan merasakan tubuhnya memanas. Itu obat doping! Kenapa gadis itu masih kepikiran memberinya obat di saat seperti ini? Lalu, obat yang mana yang dia berikan? Obat yang sama dengan yang ia berikan pada makhluk kanibal itu? Kalau benar begitu, maka gadis itu yang akan menjadi mangsa pertamanya.

"Conan! Ai! Awas!" seru Profesor Agasa.

Mereka berdua melihat ke depan. Si monster telah melancarkan pukulannya kembali. Dentuman keras terjadi. Monster itu mengangkat tangannya, tapi Conan dan Ai tidak terlihat di tempat ia memukul. Rupanya kedua remaja itu telah berpindah ke samping dengan Ai yang berada di gendongan Conan.

Conan tercengang melihat apa yang barusan ia lakukan. Dia bisa bergerak dengan sangat cepat. Tubuhnya pun terasa segar kembali dan luka-lukanya sudah pulih. Obat yang diberikan Ai berbeda dengan obat yang pernah diberikan padanya sebelumnya. Kelihatannya ini obat baru yang dia harap bukan yang sama dengan yang pernah hampir diberikan padanya dulu.

"Tidak perlu cemas. Itu bukan obat buatanku," kata Ai. "Itu tidak akan mengubahmu menjadi monster."

"Semoga saja begitu," sahut Conan.

Si monster kembali melancarkan pukulannya. Conan kembali melompat menghindarinya dengan kecepatan yang luar biasa. Diturunkannya Ai dari gendongannya di tempat tak jauh dari tempat Profesor Agasa berada, kemudian Conan melesat maju menyerang si monster. Dengan satu pukulan, monster itu terhempas dan menghancurkan pintu masuk lebih parah lagi.

"Kita akhiri!" Conan mengangkat sebuah tiang logam besar dengan sangat mudah, entah dia dapat dari mana, lalu dia tikamkan ke tubuh si monster. Suara jeritan kesakitan monster itu begitu memekakan telinga. Tak lama kemudian si monster sudah tidak lagi bergerak.

Semua terdiam. Tapi, sedikit demi sedikit terlihat para makhluk kanibal mulai kembali beringas.

"Conan!" seru Ai, melemparkan SMG miliknya ke arah Conan.

Conan menangkapnya dan dimulailah aksinya kembali. Dia menembak berputar ke arah para makhluk kanibal yang sejak tadi mengelilingi 'arena'. Profesor Agasa dan Ai segera menunduk. Semua makhluk itu terhempas ke belakang begitu mereka terkena tembakan. Semua habis tak tersisa. Conan mulai menyukai kekuatan barunya ini. Dia sama sekali tidak merasakan efek samping lain seperti obat-obat sebelumnya.

Serangan para makhluk kanibal belum berhenti. Dari pintu yang digunakan Ai untuk keluar, muncul lagi makhluk kanibal lainnya. Conan menembak, tapi pelurunya habis. Terdengar suara desisan seperti ada yang meluncur mendekat. Conan menoleh dan terlihatlah sebuah rudal mendekat. Profesor Agasa dan Ai juga melihatnya.

Rudal itu menghantam pintu di mana para makhluk kanibal keluar. Ledakan besar terjadi. Api sampai berkobar besar dan asapnya mengepul tebal ke udara.

Conan mendarat tak jauh dari lokasi ledakan dengan Ai yang didekapnya dengan tangan kanan dan Profesor Agasa yang bajunya dicengkeram dengan tangan kiri. Ledakan itu hampir saja membunuh mereka kalau Conan tidak segera membawa mereka pergi dari lokasi sasaran rudal.

"Ha-hampir saja...," ucap Profesor Agasa lega.

Conan menengok ke arah datangnya rudal. Dia bisa melihat seseorang yang mengenakan jubah putih dengan topi panjang serta memikul peluncur roket di bahunya, sedang berdiri di ujung salah satu gedung jauh dari tempatnya berada. Orang itu kemudian berbalik pergi, turun dari gedung.

"Siapa lagi itu?" gumamnya.

"Kau melihat sesuatu?" tanya Ai.

"Ya, seseorang," jawab Conan sambil melepas dekapannya dari tubuh Ai dan cengkeramannya dari baju Profesor Agasa. "Aku tidak tahu dia itu sebenarnya mau menolong atau tidak. Masalahnya tindakannya itu hampir membunuh kita juga."

"Setidaknya kita berhasil selamat," kata Profesor Agasa sambil berdiri. "Kalau dia juga merasa bermasalah dengan para makhluk itu, kita pasti akan bertemu dengannya lagi dan kita bisa menanyakan alasannya melakukan hal barusan."

"Heh! Kalau ketemu, aku akan menghajarnya duluan, baru menanyakannya,"­ geram Conan merasa kesal. Dia tidak peduli orang itu sebenarnya bermaksud menolong atau tidak, yang pasti dia akan menghajarnya dulu, baru bertanya.

To be continued...

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Anak-Anak Indonesia

Fenomena "Sudah Dibaca Jutaan Kali"

Mengapa Novel Bisa Membosankan?