KNIFE, Unforgettable Journey


Ini sebuah Perjalanan Yang Tak Terlupakan

 “Kak, selamat ya! Kakak juara satu!”

Itulah sapaan seorang adik (di Facebook), pada suatu siang muncul di chat room. Aku yang sedang ... entahlah, aku sudah lupa sedang apa waktu itu. Mungkin sedang menulis, atau membaca. Atau menulis sambil membaca status-status di facebook, agak bingung. Alih-alih menyapa dengan salam seperti biasanya, ini si Adik malah langsung mengucapkan hal-hal yang menurutku ingin mengajak bercanda. 

“Ohya? Juara apa?” jawabku santai, siap mengikuti genre apa candaan si Adik kali ini.

“Ya, ampun! Masih pake nanya! Kakak juara satu Kontes Novel Remaja itu loh!”

“Hah? Hahahaha! Makasih Dek. Ku akui, candaanmu membuatku bahagia,” jawabku seraya tertawa. Memang, saat kami berdua memutuskan untuk ikut lomba menulis novel di sebuah penerbit tahun 2012 kamaren, sambil menulis kami selalu bercanda akan menjadi juara. Sering aku mengatakan bahwa si adik itu yang akan juara pertama. Namun si adik membalas mengatakan kalau akulah yang akan menjadi juara. Aku berkeras dengan pendapatku, si adik juga tak mau mengalah. 

Akhirnya kami memutuskan kalau salah satu dari kami akan menjadi juara pertama, dan sisanya akan menjadi juara kedua. Yah ... kami benar-benar membual dan merasa sok keren. Seolah pesertanya hanya ada kami berdua, dan peserta yang ikutan dari seluruh Indonesia kami anggap sebagai penonton. Hahahah. Jadi, karena hal itulah, mengapa aku hanya menanggapi ucapan si adik sebagai candaan saja.

“Aku serius, Kak! Pengumumannya sudah keluar!”

“Heh? Benarkah? Benar gak bercanda?” aku mulai gemetar.

“Yah, si Kakak mah gak percayaan.”

Benar! Aku masih belum mau percaya. Bagaimana mungkin naskahku yang sebenarnya hancur lebur dan kukirim karena si Adik mengancam tidak mau ikutan lomba kalau aku tidak ikut, bisa menjadi juara? Dan tadi katanya apa? Juara satu?

Tak lama, beberapa teman mulai berdatangan ke inbox untuk mengucap selamat. Kata mereka, aku BENAR-BENAR menjadi juara satu! Nah, jelas sudah. Gak mungkin teman-temanku bercanda dengan berjemaah seperti itu. jadi ... jangan-jangan ....

Belum sempat pikiranku menuju ending, si Adik yang tadi mengirim link pengumuman lomba ke inbox.  Serta merta aku membukanya dan Ya Allah, terpampanglah namaku serta judul naskah novelku sebagai juara pertama Sayembara Novel Remaja (sebuah penerbit Mayor) 2012. Masih tak percaya, aku kembali menelurusi kata demi kata, bahkan huruf demi huruf demi memastikan kalau nama itu adalah namaku dan judul naskah yang tertera adalah judul naskah novelku. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku mampu mencapai posisi teratas disaat aku merasa cerita yang kutulis terkesan biasa-biasa saja? Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkan seluruh peserta, dari seluruh Indonesia?

Ya Allah. Aku bagai ingin melompat karena rasa gembira yang melandaku. Dadaku bagai ingin meledak merasakan eforia kebanggaan yang saat itu kurasa. Terlebih, aku mengirim naskah itu hanya demi menyemangati si Adik. Aku sangat tak berharap banyak, karena aku paham, penerbit penyelenggara lomba telah menerbitkan banyak buku romance, sementara naskah yang kukirim adalah thriller. 

Aku tak percaya hingga rasanya aku mau pingsan. Maka, hadiah perjalanan ke Singapore PP plus voucher belanja sudah menari-nari di depan mata. Tapi bukan itu yang membuat kenangan ini takkan terlupakan hingga aku mati nanti. Melainkan; sudah terbayang di kepalaku aku akan punya buku untuk yang pertama sekali. Buku perdana yang bakal masuk toko buku di seluruh Indonesia. Buku yang di cover depannya tertulis namaku, persis seperti buku-buku penulis lain yang sudah kubaca selama ini. Ya, Allah, akhirnya aku benar-benar menjadi penulis. Lihat, aku akan punya buku! Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.

Lalu, eforiaku mungkin terlalu berlebihan. Sehingga aku mendapat teguran keras. Setelah aku diminta untuk merevisi beberapa hal dan mengedit dengan sempurna, aku menunggu keputusan bukuku untuk terbit. Sebulan ... dua bulan ... lalu setahun, aku mulai gerah. Ditambah semua teman-teman sudah bertanya-tanya, kapan bukuku terbit, mereka sudah tak sabar pingin baca. Akhirnya aku bertanya. Dan aku mendapat jawaban yang amat mengejutkan.

“Lin, mohon maaf yang sebesarnya ya. Pemilik penerbitan mengalami kecelakaan dan koma. Beliau belum sempat menandatangani surat terbitnya bukumu. Itulah kenapa setahun ini belum ada kabar. Kamu mau nunggu?”

“Nu ... nunggu lagi, mbak?”

“Iya, tapi aku tak berani mengatakan berapa lama. Atau kamu mau bukumu diterbitkan Indie saja? Gratis, Lin.”

Seperti sedang jalan dan sebuah piano besar jatuh menimpaku, jawaban yang kudaptkan benar-benar membuatku berduka. Duka seduka-dukanya! Sedih sesedih-sedihnya! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin buku pertamaku terbentur batu penghalang yang begitu besar hingga tak mungkin untuk menembusnya?

“Kalau aku tarik naskahnya, bisa Mbak?” akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan yang paling membuatku bagai terperosok sedalam-dalamnya. Sedih, marah, kecewa, dan bahkan putus asa mulai menyerangku. Aku merasa gagal bahkan sebelum berjuang.

Dalam diam, dua tahun lamanya aku ternggelam dalam gelapnya kekecewaan. Bukuku hanya tinggal selangkah masuk toko buku!

“Ayolah Lin, bangkit! Mau sampai kapan menangisi masa lalu? Coba kirim naskahmu itu ke penerbit lain. Ingat, naskah itu naskah juara satu dalam lomba berskala nasional! Pasti ada jodohnya di luar sana!”

Itu adalah kata hatiku, yang berusaha menghiburku. Aku tak langsung melompat bangkit. Iya, memang aku mulai kembali menulis. Tetapi aku masih sering menangis karena sedih. Tapi kata hati tak pernah menghianati pemiliknya, kan? Aku mulai mencari penerbit yang sesuai dan mengirimnya dengan diiringi doa. Lalu melupakannya.

Tiga  bulan kemudian, suatu siang di email masuk dari penerbit Mediakita, mengucapkan selamat karena naskahku lolos. Saat itu, airmataku mengucur deras karena menyadari karunia Allah yang sedemikian besar untukku.

KNIFE, Teror di sekolah, menjadi novel perdanaku, yang terbit Juli 2012 di penerbit Mediakita, yang amat kucintai. Begitu panjang perjalanannya, penuh duka dan airmata. Tetapi Allah memberiku hadiah yang sangat indah, yang benar-benar takkan pernah kulupakan. Terlebih di tahun yang sama, salah satu cerpenku juga lolos dan terbit dalam buku antologi mayor dengan judul Boneka Kuntilanak, juga di Mediakita.

Alhamdulillah. Aku sungguh percaya, setiap tulisan pasti ada jodohnya. :D   

Comments

Dewie dean said…
Ah...
Proses lebih Bearti dari sekedar hasil akhir.

Dewie dean said…
Ah...
Proses lebih Bearti dari sekedar hasil akhir.

Dewie dean said…
Ah...
Proses lebih Bearti dari sekedar hasil akhir.

Dewie dean said…
Judul tulisan-tulisannya horor2 kali
Dewie dean said…
Judul tulisan-tulisannya horor2 kali
Nodiwa said…
Dari judulnya aja udah horor nih, Mbak Lin. 'Knife' kan terjemahaannya pisau ya? :)
Ehem, ada hal yang perlu jadi penyemangat buatku nih. Tak akan ada perjuangan dan penantian yang sia-sia, asalkan kita tetap mau berusaha mewujudkannya.
Semoga aku ketularan virus punya buku sendiri dan terbit, seperti Mbak Lindsay :) Aamiin
MS Wijaya said…
mantap mba,, good luck buat anak pertamanya..
aarafalesia said…
waaaww kak lin??? mana postingan kakak ??
kok ngga pernah nge posting lagi ??

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Anak-Anak Indonesia

Fenomena "Sudah Dibaca Jutaan Kali"

Mengapa Novel Bisa Membosankan?