Labirin Laba-Laba -3

TIGA


Apalagi setelah bicara, laba-laba tadi melepas tali yang mengikat mereka. Lalu tampaklah mulut mereka tertarik kesamping kiri n kanan. Laba-laba itu kayanya berusaha tersenyum pada mereka.

Nina menggosok-gosok lengannya, “Bu..bukankah ka…kalian akan membungkus kami dengan jaring kalian dan..dan memangksa kami?”

Laba-laba yang ditanya Nina menggeleng, “Enggak. Aku jujur saja ya. Aku enggak suka makan manusia. Aku lebih suka makan lalat segar!”

Nina menelan ludah gembira. Dodi juga tampak lega bukan kepalang.

“Omong-omong, senang berkenalan dengan kalian. Belum pernah sejarahnya lala-laba bertemu dengan manusia mini seperti kalian. Oh ya, namaku Herion. Tapi panggil saja aku si Bulu.”

“Dan aku si Jangkung!” terdengar suara laba-laba yang satunya.

Tubuhnya emang lebih jangkung di banding temannya si Bulu.

“Ha…halo. Aku Nina.”

“Aku Dodi.” Ucap cowo’ itu walo masih dengan perasaan engga percaya kalo saat ini mereka sedang bicara bengan hewan.

“Biasanya, species kalian berukuran amat sangat besar. Jadi, Pasti telah terjadi sesuatu sehingga kalian menjadi menciut seperti ini. Benar, ‘kan dugaanku?”

“Iya. Bener sekali.” Jawab Dodi cepat, “Ta…tapi ini mengherankan. Berarti si tua Terpin bener. Laba-laba emang hewan yang pintar.”

“Apa?” tanya si Jangkung denga suara tinggi, “Kamu meragukan hal itu ya? Menghina sekali!”

“Maaf,   dia   ini   emang   kurang   peka  terhadap  kaum  hewan. ” Nina  menyikut  perut  Dodi. “Lu pengen keluar dari tempat ini dengan selamat ato engga sih Dod?” bisiknya melotot.

“Dengar ya Dod…” kata si Jangkung sedikit tersinggung, “Menurutmu, memangnya bagaimana cara kami membuat rumah? Itu Adikarya berdasarkan Geometri!”

“Iya. Bertahun-tahun kami mempelajari hal itu.” Tambah si Bulu agak sedikit bangga.

“Kami jenius dalam persoalan matematika. Tapi kami hanya dianggap binatang biasa!” lanjut si Jangkung lagi.

Si Bulu mengangguk, “Sebenarnya kami sangat berguna bagi manusia. Bayangkan nyamuk dan lalat yang kami tangkap untuk melindungi kalian!”

“Hm…soal ini kalian bener juga.” Ujar Dodi mangut-mangut. Neh cowo’ mulai ngerti mengapa si tua Terpin melakukan penelitian tentang laba-laba ampe kepalanya botak! “Kalo begitu, kalian pasti bisa ngeluarin kami dari tempat ini, ‘kan? Kalian toh bisa merambat di dinding..”

“Memang, “si Bulu mengangguk, “Biasanya laba-laba bisa merambat naik turun di dinding. Tapi bahan dinding ini dilapisi sesuatu sehingga cakar kami enggak bisa mencengkramnya.”

“Sepertinya tempat ini dibuat untuk memenjara kami.” Sambung si Jangkung cepat.

“Benar. Kalian sengaja dimasukkan di labirin ini untuk menguji kecerdasan kalian.” Ujar Dodi menggaruk-garuk ujung dagunya.

“Labirin?” tanya si Bulu mengernyitkan keningnya yang emang udah mengkerut.

“Jadi aku benar, ‘kan Bulu. Ini semacam tes IQ!” seruh si Jangkung.

“Tes IQ dengan labirin?” si Bulu tertawa, “Ini bukan masalah, sobat! Semula kita berpikir ini akan lebih rumit,’kan?”

“Apa maksudmu, Bulu? Mungkin perlu beberapa hari ato

Bisa jadi berminggu-minggu untuk bisa keluar dari tempat ini.” Teriak Nina melengking, membuat ketiga mahkluk lain yang ada ditempat itu menoleh.

“Kenapa wanita selalu bicara dengan berteriak-teriak?” gerutu si Jangkung menggeleng-gelengkan kepala.

“Ini masalah hormon, Jangkung,” hibur si Bulu membuat Dodi tersenyum simpul, “Sebenarnya ada resep rahasia untuk keluar dari labirin ini.”

“Oh ya?” mata Nina membesar.

Si Bulu mengangguk, “Pinjam pensil, biar kugambar untukmu!” katanya tenang. Lalu dikeluarkannya sebuah kacamata dari dalam bulu dadanya yang tebal dan mengenakannya.

“Woooww!!” Dodi terkekeh sambil merogoh pensil dari saku kemejanya, “Kacamatamu sungguh canggih, Bulu!”

“Terma kasih,Dod.” Jawab Bulu kalem, “Si Jangkung malah punya jam tangan yang spektakuler.”

“Masa syih?”

Kali ini si Jangkung tampak tersenyum malu, “Biasa aja lagi. Paling jam itu bisa ngomong ‘waktunya makan siang’ ato ‘di sebelah kiri dinding ada nyamuk segar’.”

“Ya ampun. Itu keren abiss!!” puji Nina takjub. Sementara itu dia melihat si Bulu dengan lincahnya menggambar kota-kotak berlorong yang benar-benar menyerupai gambar labirin tempat mereka terjebak saat ini.

“Kalau kalian terus mengikuti salah satu dinding, entah dinding sebelah kiri atau kanan, lambam laun kamu akan menemukan jalan keluar.” Jelas si Bulu mengakhiri lukisannya di dinding.

“Wah! Kalian emang bener-bener pintar! Ayo kita keluar dari tempat ini.” Ucap Dodi engga mau mebuang waktu lagi.

Si Bulu dan si Jangkung saling berpandangan, “Mereka ingin menguji kecerdasan kita.” Kata si Bulu berbisik.

Lalu mereka sama-sama tertawa, “Hahaha…lucu sekali ya?”

Setelah lama berjalan, akhirnya mereka benar-benar menemukan sebuah pintu menuju dunia luar seperti yang telah dikatakan si Bulu, dunia yang maha luas dan pasti lebih banyak menyimpan misteri untuk makhluk berukuran mini.

“Nah, kita berhasil keluar!” seru si Bulu gembira.

Dodi melompat kegirangan, “Horee…akhirnya kita selamat!”

Nina bertepuk gembira, namun mendadak dia kembali resah,“Jangan terlalu senang begitu, Dod. Kita masih punya satu masalah lagi. Yaitu kita harus kembali keukuran normal atau semua hewan tertarik untuk bekenalan dengan kita.”

“Astaga Nin…nikmati dululah keberhasilan ini. Ntar juga caranya akan ketemu dengan sendirinya.” Ujar Dodi santai.

“Hm, sebeleum berpisah..” terdengar suara si Bulu mengusik pertikaian dua manusia mini itu, “Aku ingin mengajukan pertanyaan yang selalu menggangguku, tentang species kalian.”

“Oh ya, apa itu?” tanya Dodi cepat.

“Bagaimana cara kalian melihat sesuatu hanya dengan dua mata? Bagaimana cara kalian melihat benda yang ada di samping, atau di atas?”

Dodi tertawa, “Gampang. Kami menoleh kekanan-kiri seperti ini,” tuh cowo’ mempraktekkan apa yang dikatakannya, “Atau menengadah begini untuk melihat ke atas.”

“Hm…menarik sekali.” Gumam si Bulu.

“Sungguh enggak praktis dan tampak aneh sekali.” Komentar si Jangkung.

“Di dunia ini memang banyak hal-hal aneh.” Ujar si Bulu lagi,  “Jadi … selamat  tinggal, kawan.”  Katanya  mengangkat sebuah kakinya ke atas seolah ingin melambaikan tangan kepada Dodi dan Nina.

“Selamat tinggal Bulu. Selamat tinggal Jangkung. Gua pasti akan merindukan kalian.” Ucap Nina mulai merasa sedih.

“Sampai bertemu lagi, kawan!” teriak Dodi begitu kedua hewan tadi langsung melesat cepat dengan menggunakan jaring mereka menuju entah kemana.

Nina menghela nafas, “Lu Cuma basa-basi, ‘kan?”

“Jadi gw arus ngomong apa? Semoga kita engga ketemu lagi ampe selamanya,kawan…gitu?”

“Maksud gua, arusnya elu ngucapin sesuatu sungguh-sungguh. Lu engga sadar kalo mereka itu udah baik  banget ama kita? Untunglah mereka pintar n terdidik. Jadi mereka engga buas n menyantap kita bulat-bulat.” Omel Nina mulai ceriwis lagi. Dodi engga perduli karena neh cewe’ emang sifatnya begitu. “Kira-kira apa semua hewan seramah mereka ya?”

Baru aja Nina mempertanyakan pertanyaan yang arusnya engga ditanyakannya, mendadak dari balik labirin mereka di hadang oleh seekor laba-laba yang lebih bulunya lebih tebal dari si Bulu n lebih menjulang dari si Jangkung. Yang berbeda adalah laba-laba ini berwarna hitam, bertampang sangar n ada beberapa codet di wajahnya. Pasti itu tanda-tanda dari perkelahian yang sering dilakukannya. Mungkin dia inilah premannya!

“Grrrr!! Aku ingat kamu! Meski ukuranmu lebih kecil dari pada tadi pagi!” geram si laba-laba hitam dengan suara berat dan menakutkan. Wajahnya juga seram sekali hingga Nina ketakutan n berlindung dibelakang Dodi yang juga gemetaran.

#Bersambung
#OneDayOnePost
#DayTen
#BayarHutang

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Anak-Anak Indonesia

Fenomena "Sudah Dibaca Jutaan Kali"

Mengapa Novel Bisa Membosankan?